Don't miss

Friday, 12 December 2014

MENGHADAPI PROBLEMA DALAM RUMAH TANGGA


By on 12/12/2014 07:15:00 pm

I LOVE YOU



Hujan deras mengguyur Kota Tercintaku, Jogja Berhati nyaman sejak kemarin.
Sebuah telepon masuk ke Ponsel saya usai subuh

“Doakan aku kuat,Mbak. aku ini sudah berumah tangga 34 tahun lamanya. Tiga anakku dua diantaranya sudah menikah. tapi aku belum memiliki cucu dari kedua anakku itu. Ya tidak apa-apa ya, mbak. Mungkin Gusti Alloh memang belum ngasih.”

Dalam diam aku mengangguk.

“Mbak Diana...” lanjutnya kemudian.
“suamiku kenapa belum juga sadar,ya? Berbagai cara kulakukan. Aku itu sudah mengalah ini itu. Sudah kupatuhi dia, tetap saja dia tak peduli padaku. Sodara dan teman-temannya tetap yang jadi prioritasnya. Sebagai istri, aku ini kurang sabar gimana, mbak?”

Mendengar itu, saya jadi “Horor” sendiri. Tapi, sungguh dalam hati saya teriris-iris.

Huwaa ini aku bener-bener mbrebes mili loh ya, bukan lagi teriak histeris menang tiket nonton konser. #hiks.

Barusan itu adalah seorang Ibu-Ibu yang sudah berumah tangga selama 34 Tahun.
Beliau curhat tentang perilaku suaminya yang tak pedulian dan selalu masa bodoh terhadapnya yang selama ini sakit. beliau sudah menopouse, dulunya kerja di Bank tapi udah pensiun gitu katanya. Akhir-akhir ini beliau sering mengeluhkan asam lambung naik dan asam urat. suaminya gak peduli saat beliau sakit (bahkan saat tidak sakitpun).
Suaminya memiliki karakter yang luar biasa egois. Intinya, kalo dinasehati marah, nggak dinasehati memendam amarah. Si Ibu telah menempuh banyak cara untuk membawa suaminya ke jalan yang benar.  
tapi si suami tak kunjung berubah. Semakin tua semakin menjadi. Padahal para Bapak seusianya sudah pada tobat dan menunjukkan kewibawaannya sebagai seorang yang memang “sepuh”.
#ealaah Gusti Alloh!

          Mmm...

Panggil saja Namanya Bu Tatik.
Seorang wanita setengah baya yang kali pertama saya jumpai waktu Arisan Ibu-Ibu Pkk di komplek perumahan di mana salah satu dari deretan rumah itu tempat saya ngeKost.
Si Bapak alias suaminya adalah seorang pegawai Bank di sebuah BANK Pemerintah yang lumayan tersohoor di negeri ini.
Meski ibu-ibu setengah baya, penampilan____saya panggil beliau Jeng Tik____ini seperti ABeGeh. Ayu, modis, kulit mulus, penampilan bak konglomerat. Masih muda aja gitu kesannya.

Setelah mengatur denyut jantung yang lumayan loncat-loncat,
Kujawablah telpon yang membabi buta di pagi itu dengan sesopan mungkin.

          “Wealah Jeng..saya ini siapa lhoo kok panjenengan curhat ke saya. Gak salah orang toh ini?!”

Ucapku dengan sedikit kemayu biar kondisi gak tegang,guys.
Daan langsung dijawabnya dengan megap-megap.
          “aku tuh mbak, dari awal ketemu mbak Diana di arisan pertama beberapa minggu lalu, aku langsung merasa cocok. Aku lebih sreg  gitu ngobrol ke mbak , lebih adem gitu daripada ke Bu Ro-----(*Sensor)/seseorang yang lebih sepuh di Arisan Ibu-Ibu Pkk itu.”

#waduh ya! Kok pembandingnya Ibu itu sih. Jelas saya kalah level tho ya.ya. wah Jeng Tik ini salah makan opo,je.

Temans,
Sungguh kehidupan berumah tangga adalah kehidupan yang luarbiasa “Indah” dengan pernak-pernik yang juga “menakjubkan”.
Hal yang dialami Jeng Tik diatas dulu di awal menikah sayapun mengalaminya. Yang setelah ditelusuri masalahnya ada pada tata cara “berkomunikasi” antara suami istri.
Banyak buku, banyak guru menyinggung dan membahas persoalan ini. Komunikasi pasangan suami-istri, orangtua dan anak, menantu dengan mertua dll.

Disini bukan kapasitas saya untuk menguliti hal-hal seperti itu.
Hanya, saya ingin menorehkan sedikit pengalaman yang mungkin bisa dijadikan “pelajaran” bagi pasangan muda seperti saya.
Ketika dulu, suami saya mulai terlihat karakter tidak baiknya, saya akan dekati dia pelan-pelan saya ajak diskusi, meskipun ya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. 
Saya berusaha ajak bicara baik-baik, sesopan dan sehalus mungkin, meski ujung-ujungnya di dengerin dengan tidur atau pura-pura tidur. Andai dia tahu...#duh, sakitnya tuh disini,Papa!
Yah, tapi biarlah.
 Kadang saya asal menyanyi lagu yang gak tau judulnya sambil bergaya dengan mimic muka perpaduan antara kucing marah, macan lapar, dan tikus kecemplung got  demi membuat suami saya ngakak, meski hasilnya nihil. #sabaarr..sabbaarr

Oke, Fixed Bye!
Awww bukaaan!

Enggak segitunya kali. Saya tetep keukeuh berada di zona “pemenang” hehe.
Saya coba sabar-sabarin diri, tabah-tabahin hati demi menjaga mulut saya tetep dalam intonasi yang lemah gemulai memberi penjelasan dan mengajak diskusi suami.
Meski, yah disambut dengan satu kata “ya” terus ditinggal pergi.

Oke, fine! Fine,pa!

rada tegang juga kayak mau genjatan senjata. saya kejar dia, keburu lari ke warung depan rumah. pelan-pelan saya rangkul bahunya.

"Sekarang yuk duduk lagi. Berbincang yang enak."
(gaya seluwes mungkin kayak momong balita)

Saya akhirnya membuka dengan sedikit dongeng.
Saya memosisikan diri sebagai dia dengan tiga level, di bagian lain saya memosisikan diri sebagai diri saya sendiri dan dengan tiga level juga.


Tiga level apakah itu?
Tiga level pertama adalah saya berperan sebagai dia: seorang lelaki, seorang suami yang juga seorang makhluk ciptaan Tuhan paling logis. (kaitannya dengan logika)
Tiga level Kedua adalah saya sebagai Diri sendiri: seorang wanita, seorang Istri yang juga seorang makhluk Tuhan paling seksi. (kaitannya dengan Perasaan)
Saya ajak suami saya “menyelam” kedalam dua karakter tersebut dengan dihadapkan pada realita kehidupan di luaran.
Beberapa hari sebelumnya, suami saya pernah bercerita (*ini sih kalo bisa dianggap cerita,soalnya irit bingit deh dia ngomong)

Nah, saya akhirnya mengambil setting itu dalam permainan peran dengan suami saya.
Saya ajak suami membandingkan kehidupan rumah tangga kami dengan rumah tangga si kawan. (dalam maksud ujian yang menimpa kami)

waktu itu saya ngomong begini
“Sebagai suami/lelaki/makhluk Tuhan paling Logis, saya akan bersyukur memiliki istri sesalehah dan gak banyak menuntut. Istri oranglain itu marah-marah dan sulit diatur suaminya, tapi istriku dengan rela hati justru mengalah dan minta diatur. Istriku justru minta ijinku untuk bisa bekerja dari rumah, ketika banyak para istri yang berlomba-lomba “memusuhi” suami demi mendapat ijin bisa kerja keluar rumah. Mulai detik ini, aku bertaubat, memohon ampun pada Tuhan, Orangtua, mertua dan istriku. Bahwa selama ini aku sudah salah jalan. aku terlalu di dominasi egoisme seorang lelaki. yang ternyata itu sudah harus dikurangi setelah menikah. aku masih butuh bimbingan mereka semua. Aku masih butuh kasih sayang mereka dan menyayangi mereka. Aku tidak mau keluargaku karut marut seperti keluarga kawanku itu.”

“Sebagai Istri/Wanita/makhluk Tuhan paling seksi. Aku tetap bersyukur, diberi suami yang seperti ini, pendiam, cuek, pendendam, suka salah paham (hiks). meski dia memiliki banyak kekurangan tapi dia baik hati, tulus hati, “ringan tangan/suka membantu” pekerjaan intern istri. Andai suamiku bukan dia, belum tentu aku diperhatikan dan dilimpahi kasih sayang seperti ini. Mulai saat ini aku bertaubat pada Tuhan dan memohon maaf pada suami, orangtua dan mertua dan memperbaiki kembali kepribadianku agar suamiku tidak dilaknat Tuhan karena keegoisanku. Semoga keluarga kami sakinnah hingga ke akherat.Amiin.”

*** hasilnya, suami saya meneteskan airmata dan memeluk saya. Meski tak satupun kata terucap. #Alhamdulillah

Intinya Komunikasi, perbaiki kesabaran, latihan dan latihan dan terus belajar.
Sebab membentuk dan mengubah karakter itu tidak segampang membalik telapak tangan. Berproses. Butuh waktu lama dan gak selalu mudah.

Trus, maksud loh mau instan?! Mau enaknya aja?!

langsung Tobat trus mak bedunduk glundung-glundung BERUBAH,getoh?!
 Yo mustahil!




tetap sakinah ya semua!


 #VD

Deezna Valeria

I'm An Indonesian Author, Novelist, Memoirist. Live In Jogjakarta

0 comments :